Prof Anom Sepakat Waspada PHK, Jangan Butakan Diri dengan Data Semata

Prof Anom Sepakat Waspada PHK, Jangan Butakan Diri dengan Data Semata

DENPASAR – Gubernur Bali I Wayan Koster kembali menuai kritik tajam usai pernyataannya yang menyebut isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor pariwisata sebagai “kampanye hitam” dari pesaing destinasi lain. Pernyataan ini dinilai meremehkan kondisi riil di lapangan dan memicu respons keras dari kalangan akademisi.

Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. I Putu Anom, M.Par, menyatakan dirinya sependapat dengan Ketua DPR RI Puan Maharani yang sebelumnya telah mengingatkan akan ancaman PHK massal di Bali. 

“Penurunan okupansi kamar itu jelas sinyal penurunan kunjungan wisatawan, dan itu bisa berujung pada efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja,” ujarnya.

Prof Anom menilai, pemerintah daerah semestinya tidak larut dalam euforia angka kunjungan wisatawan mancanegara, yang menurut Koster mencapai 6,4 juta orang di 2024 dan meningkat 10–12% pada 2025—sementara kenyataannya, wisatawan domestik justru menurun hingga 20% per hari. Penurunan ini, kata dia, berdampak besar pada sektor hotel kelas menengah, UMKM, dan pekerja informal yang menopang lebih dari seperempat tenaga kerja pariwisata Bali.

Ia juga menyoroti ketimpangan antara peningkatan jumlah kamar hotel dan stagnasi bahkan potensi penurunan wisatawan. 

"Pertumbuhan jumlah kamar tak sebanding dengan kedatangan wisatawan. Jika ini terus terjadi, pelaku industri terpaksa memangkas biaya, termasuk tenaga kerja,” jelasnya.

Menurutnya, reaksi Koster yang menganggap kritik sebagai serangan politik menunjukkan sikap abai terhadap tanda-tanda krisis. Padahal, peringatan dari tokoh nasional seperti Puan Maharani seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan ditangkis dengan narasi politik sempit.

Prof Anom pun mendorong Pemprov Bali untuk tidak terlena pada angka-angka, tetapi segera mengambil langkah konkret seperti pelatihan ulang tenaga kerja, perlindungan UMKM, hingga membangun sistem peringatan dini sektor ketenagakerjaan. 

“Data bukan untuk meninabobokan kebijakan, tapi sebagai kompas agar pembangunan tetap berpihak pada rakyat,” pungkasnya. (Ray)